Langit bersama Angin yang Dibawanya

Langit
(Karya: Imron Ahmady)

Langit,
Begitu ujar mereka.
Bukan karena mereka memandang marah.
Tetapi mereka menilik secara basirah.

Langit,
Begitu ujar mereka.
Bukan karena mereka tidak tahu harus berbuat apa.
Tetapi mereka percaya harapan itu nyata.

Langit,
Begitu ujar mereka.
Bukan karena mereka merasa tidak cukup.
Tetapi mereka hendak mensyukuri hidup.

Langit,
Begitu ujar mereka.
Bukan karena aku terlihat murup.
Tetapi mereka ingin menampik redup.

-

Begitu lah salah satu karya puisi saya yang saya buat dengan makna yang mendalam. Salah satu yang saya sangat sukai. Puisi ini merupakan representasi dari salah satu foto yang saya dokumentasikan (mendokumentasikan sesuatu secara visual melalui kamera adalah salah satu hobi saya). Untuk yang bertanya-tanya foto apakah yang melatarbelakangi puisi saya di atas, berikut adalah hasilnya:


Captured by Imron Ahmady
Terlihat biasa saja memang, tetapi saya termasuk orang yang selalu menghayati lebih dalam dibalik hal-hal yang mudah kita saksikan di dunia ini, salah satunya merasakan langit. Agar teman-teman dapat merasakan apa yang saya amati dan hayati terkait dengan langit, maka saya ingin membedah isi puisi saya tersebut. Sesuai dengan judul di blog ini, saya menyertakan judul puisi saya "Langit" dengan lanjutan "Angin yang Dibawanya" yang berarti makna yang terkandung di dalam puisi tersebut. Sengaja saya lampirkan agar judulnya memberi kesan yang bahwa isi blog ini bermanfaat *emoji ketawa melet*.
Daripada berlama-lama, langsung saja.

"Langit,
Begitu ujar mereka."
Ada yang sudah tau dari sudut pandang siapakah puisi ini? Yak, benar, si langit itu sendiri. Kata "mereka" dalam larik tersebut mereferensikan kita, sebagai manusia, yang mengucapkan kata "langit" sebagai identitas langit itu sendiri.

"Bukan karena mereka memandang marah.
Tetapi mereka menilik secara basirah."
Sebagai manusia, saya percaya, bahwa kita semua mempunyai masalah masing-masing. Terkadang kita marah atas apa yang menimpa kepada kita, tapi tidak semua dari kita membiarkan kemarahan tersebut mengendalikan kita, membawa kita lebih jauh. Banyak dari kita melihat orang lain di berbagai tempat, di jalan, di trotoar, di taman, di teras, atau di mana pun, membelalak memandangi langit (terserah anda menganggapnya secara harfiah atau tidak). Kita pun beranggapan bahwa orang-orang tersebut hendak untuk melepas kemarahannya, tetapi nyatanya tidak, mereka hanya ingin menikmati pandangannya terhadap langit secara syahdu, secara basirah (basirah dalam kbbi berarti pandangan yang sungguh-sungguh dengan mata hati).

"Bukan karena mereka tidak tahu harus berbuat apa.
Tetapi mereka percaya harapan itu nyata."
Tidak berbeda jauh dengan makna di atas. Terkadang kita melihat orang lain memandangi langit lantaran orang tersebut telah putus asa, sudah tidak ada lagi nilai dalam dirinya, sudah tidak ada lagi hal yang pantas diperbuatnya, tetapi nyatanya tidak, orang-orang tersebut mungkin berada di ujung asa, tapi jauh di lubuk hatinya, masih menyisakan harapan, masih menyisakan angan, walau pudar termakan hujan.

"Bukan karena mereka merasa tidak cukup.
Tetapi mereka hendak mensyukuri hidup."
Lagi, lagi dan lagi, makna yang saya tekankan, bahwa kehidupan kita sebagai manusia tidak mudah ditebak hanya dari sudut pandang diri kita sendiri. "Merasa tidak cukup" dan "mensyukuri hidup" merupakan hal yang bertolak belakang. Banyak dari kita menyaksikan banyak orang yang dikatakan beruntung atau pun yang belum beruntung, masih merasakan ketidakcukupan, tetapi jika kita menoleh lebih dalam, banyak pula orang yang mensyukuri hidupnya lebih dari apa yang dia punya, seakan-akan tingkat kecukupan tidak lagi relevan dalam hidupnya, seakan-akan langit memastikan bahwa mereka akan menjalani hidupnya sebaik-baiknya kehidupan.

"Bukan karena aku terlihat murup.
Tetapi mereka ingin menampik redup."
Tibalah kita dipenghujung puisi ini.
Murup.
Murup.
Murup.
Murup yang berarti menyala; berkobar atau terang sekali.
"Bukan karena aku terlihat murup"
Akhirnya, si langit mengakui ke-"aku"-annya.
Akhirnya si langit menjelaskan sinarnya.
Ya, coba kita sejenak pandangi atau rasakan langit itu sendiri. Baik secara visual maupun batin, kita dapat merasakan adanya cahaya yang menyala, adanya cahaya yang berkobar, adanya cahaya yang terang.
Untuk apa itu semua? Untuk menuntun kita dalam kegelapan.

Itulah makna yang terkadung pada bait puisi yang saya buat. Sajian plot twist yang saya berikan di dalam puisi ini adalah ingin memotivasi teman-teman bahwa banyak hal yang kita lihat berbeda apa yang dirasakan. Pada nyatanya, Tuhan lah yang tahu apa yang dirasakan tiap makhluk yang diciptakannya. Kata langit dalam puisi itu sendiri, tidak lepas dari bayang-bayang Tuhan, tidak lepas dari bayang-bayang Allah SWT (implisit dari logika dan nurani saya). Untuk itu, saya harap kita sebagai manusia untuk terus mencari nilai-nilai yang patut diperjuangkan (tamparan buat saya juga, tentu), dan saya, sebagai penulis, berharap puisi yang saya buat dapat memperjuangkan nilai-nilai tersebut.

Sekian dari puisi dan bedah puisi kali ini, segala sesuatu yang kalian dapat dari blog saya, kembali lagi kepada anda untuk menentukan mana yang pantas diterima mana yang tidak.
Untuk itu, akhir kata, terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Komentar

Postingan Populer